CARA MUDAH BERBISNIS TIKET PESAWAT

Jika Anda Bisa Mengetik dan Akses Internet, Anda Sudah Memiliki Syarat yang Cukup Untuk Menghasilkan Uang dari Bisnis Tiket Pesawat Online

BISNIS YANG BIASA TETAPI MEMILIKI POTENSI PENGHASILAN YANG LUAR BIASA

Apakah anda sudah siap untuk Bergabung??

Bergabung? silahkan klik disini

Jumat, 17 Juni 2011

Penerbangan Terlambat Paling Geleng-Geleng

Pesawat terlambat itu sudah biasa. Malah, kalau kita dapat pesawat yang terbang on time, itu rasanya sebuah kebetulan dan surprise. Jutaan penumpang di Indonesia ini sudah terbiasa dengan dua alasan yang paling sering disampaikan.

Pertama: Maaf atas keterlambatan ini, dikarenakan alasan operasional.

Kedua: Maaf atas keterlambatan ini, dikarenakan alasan terlambatnya kedatangan pesawat.

Sebagai salah satu orang yang hidupnya tergolong Up In The Air, dalam setahun saya bisa naik ratusan penerbangan. Pernah, keliling Indonesia sampai 57 penerbangan dalam 75 hari. Saya sudah terbiasa banget dengan aneka delayed dengan berbagai tingkat keparahannya.

Menurut hukum probabilitas, seharusnya ada satu atau dua penerbangan yang tak akan pernah terlupakan. Selasa sore lalu (14 Juni), ada keterlambatan sekitar dua jam dengan alasan paling unik.

Saking uniknya, saya dan beberapa penumpang sudah sulit marah atau kecewa begitu tahu penjelasannya. Hanya bisa geleng-geleng kepala. Atau sampai tertawa, karena merasa sulit percaya bisa mengalami penerbangan seperti ini?

***

Selasa sore itu, saya tiba di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta di kawasan Jakarta sekitar pukul 14.00 WIB. Bertujuan segera pulang ke Surabaya. Tiket saya sebenarnya untuk penerbangan Garuda GA 320 pukul 15.30. Tapi sempat berharap bisa pindah ke penerbangan yang lebih dulu.

Ketika masuk, saya melihat di monitor kalau penerbangan sebelumnya, GA 318 yang pukul 14.30, di-delayed hingga pukul 15.30.

Aduh! Pikir saya waktu itu. Kalau yang 14.30 mundur sejam, apalagi yang 15.30! Mereka yang rajin terbang seperti saya tentu sadar, semua penerbangan setelah pukul 12.00 selalu bikin deg-degan. Mungkin perasaan saya ini salah, tapi rasanya kok lebih sering terlambat daripada on time-nya.

Minimal, kesannya kok lebih sering terlambat. Dan semakin sore (atau malam) semakin parah.

Saya pun ke counter Garuda, minta tiket saya dialihkan ke yang jam 14.30 itu. Toh pesawatnya juga terlambat.

Pertanyaan penting ketika ada dua pesawat yang jamnya berdekatan adalah: Apakah pesawat yang dinaiki sudah ada di bandara" Dan kalau belum ada, apakah sudah take-off dari kota sebelumnya" Kalau sudah take-off, perkiraan mendaratnya jam berapa" Data-data itu seharusnya ada di monitor.

Menurut penjelasan waktu itu, kedua pesawat sudah di udara, akan tiba hampir bersamaan (katanya selisih empat menit).

Di kasir waktu itu dijelaskan, kalau mau pindah pesawat, saya harus bayar ekstra lebih dari Rp 500 ribu. Tapi petugas perempuan itu dengan ramah merekomendasikan agar saya tidak pindah. Alasannya, kedua pesawat, toh, akan tiba di Soekarno-Hatta hampir bersamaan. Katanya, hanya selisih empat menit antara satu sama lain.

Malahan, pesawat saya yang pertama (GA 320) disebut bakal mendarat lebih dulu. Teman saya Bobby Arifin, yang waktu itu mengantar ke bandara, mendorong saya untuk pindah saja ke GA 318. Bayar lebih, tapi diyakini tetap akan berangkat lebih dulu.

Saya pun berpikir. Kedua pesawat akan mendarat di kisaran pukul 15.00. Berarti, butuh sekitar 20-30 menit untuk mengosongkan dan mempersiapkan pesawat untuk perjalanan selanjutnya.

Berarti, baik GA 318 maupun 320 baru akan boarding di kisaran 15.30. Ditambah 15-30 menit lagi waktu untuk persiapan akhir dan take-off, pesawat baru akan benar-benar terbang sekitar pukul 16.00. Jadi intinya, sama-sama lebih terlambat.

Karena kurang lebih sama, dan atas rekomendasi petugas juga, saya pun memutuskan untuk tetap naik GA 320. Sambil menunggu, saya makan dulu di bandara?

***

Kalau dipikir-pikir, dengan pertimbangan tiba lebih cepat di Surabaya, pilihan saya tidak pindah pesawat salah. Pada akhirnya, GA 318 tetap berangkat lebih dulu, pukul 16.00 lebih sedikit. Tapi, kalau saya pindah pesawat, maka saya tidak akan punya pengalaman menarik seperti berikut ini.

Sekitar pukul 15.00, saya dan penumpang GA 320 lain sudah menunggu boarding di Gate F1. Yes! Pesawat sudah mendarat dan merapat ke garbarata tidak lama kemudian. Beberapa kru pesawat yang ikut menunggu di F1 pun masuk ke pesawat itu setelah seluruh penumpangnya keluar.

Dalam hati saya, pukul 15.30 sudah boarding dan sebelum pukul 16.00 sudah bisa take-off. Satu jam dan sepuluh menit kemudian sudah sampai Surabaya.

Lama ditunggu, ternyata tak kunjung boarding. Ada pengumuman, karena alasan operasional, pesawat ditunda hingga 16.30. Lalu diumumkan lagi ditunda hingga 17.15.

Banyak penumpang berkumpul di meja petugas gate tersebut. Ada yang bertanya dengan nada emosi (seperti saya, he he he), ada yang sampai mengancam begini: "Awas, nanti ada kaca yang pecah lho!?

Salah seorang penumpang kelas bisnis lantas dapat pengakuan seorang petugas: Bahwa tidak ada pilot di dalam pesawat.

Tidak ada penjelasan lebih mendetail. Tapi seorang petugas (yang rasanya berpangkat lebih tinggi) akhirnya mengakui kalau saat itu memang tidak ada pilot di dalam pesawat.

"Pilotnya sedang di Alexis mungkin!" celetuk seorang penumpang.

"Pilot itu kayak sopir bus kan" Masak ngatur jadwal sopir aja nggak bisa," celetuk yang lain.

Kemudian dijelaskan, bahwa pilot (kalau tidak salah disebut pengganti) akan segera datang. Dan pesawat pun diumumkan akan boarding 16.45.

Sebenarnya, hari itu telatnya tidaklah terlalu lama. Hanya saja, muncul keluhan karena orang-orang ini memilih Garuda karena merasa lebih yakin akan ketepatan waktunya.

Saya pribadi sebenarnya tidak harus naik Garuda. Naik apa saja sama saja. Toh cuman sejam dari Jakarta ke Surabaya. Tapi, ketika benar-benar harus tiba pada waktu tertentu, saya memilih Garuda karena BERASUMSI akan lebih on time.

Ketika naik maskapai lain, seperti Lion atau Citilink atau Batavia, ketika diumumkan terlambat saya tidak terlalu bete. Soalnya kan murah! Kalau bayar murah, ya ada risiko-risikonya. Garuda kan beda, mahal. Kadang empat kali lebih mahal dari maskapai lain.

Dan waktu itu, saya sempat berpikir, kenapa hari itu tidak gambling naik maskapai lain yang lebih murah saja. Enaknya di Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta, kalau satu pesawat telat, saya bisa pindah ke yang lain. Misalnya di Terminal 1C. Kalau Citilink telat, saya bisa tengok jadwal Batavia, lalu beli tiket baru kalau memang Batavia terbang lebih dulu.

Dan harga dua tiket itu (Citilink dan Batavia) ketika digabungkan bisa tetap lebih murah dari tiket Garuda.

Kalau ternyata Batavia juga sulit, jalan sedikit ke kanan dan kiri, ada Lion dan yang lain-lain. Semuanya punya banyak penerbangan ke Surabaya.

Di Terminal 2" Bisa dibilang malas (karena repot) untuk pindah ke Terminal 1. Shuttle bus di bandara yang ribet itu lambat sekali?

***

Tidak lama, datanglah seorang "yang tampaknya pilot-- masuk ke ruang tunggu itu. Saya dan beberapa penumpang yang sedang ngerumpi bareng (pengusaha dan politisi Surabaya) lantas bertepuk tangan. Dasar orang Surabaya, cuek dan ekspresif, ha ha ha.

Tahu dapat sambutan. Sang pilot "yang dari awal tidak tampak happy-- melihat ke arah kami. "Kenapa saya di-tepokin" Artis ya" cetusnya.

Kami pun diam. Wah, marah nih! Dalam hati saya.

Dia berjalan ke arah kami. Ternyata bukan untuk marah, melainkan menjelaskan kenapa situasi seperti ini. Istilah populernya, curhat. Berdasarkan penangkapan saya, dia merasa tidak nyaman terbang. Dan kalau pilot tidak nyaman terbang, ya sebaiknya tidak terbang.

Berdasarkan penangkapan kami: Dia bilang baru saja menghadap ke manajemen. Menyampaikan kekecewaan, mengapa co-pilot-nya yang bule, yang tugasnya membantu pilot, justru mendapat bayaran tiga kali lebih tinggi. "Maaf penerbangan jadi terlambat. Tapi saya harus menyampaikan ini. Bagaimana harga diri bangsa ini kalau seperti ini!" tuturnya.

Teman saya yang politisi pun menimpali. Entah serius entah bercanda: "Nanti saya sampaikan aspirasinya ke atas!?

Pilot itu pun masuk ke pesawat, tidak lama kemudian kami semua boarding. Sambil antre masuk pesawat, kami hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau marah sudah sulit rasanya. Malah bisa cekikikan.

"Oalah, terlambat karena ngambek to," celetuk seorang penumpang.

***

Kami semua sudah duduk di dalam pesawat. Seperti biasa, para flight attendant Garuda menyambut kami dengan sangat ramah.

Sebelum take-off, muncul pengumuman permintaan maaf atas keterlambatan sore itu, "dikarenakan alasan operasional." Sebelum mendarat, pengumuman lagi muncul, minta maaf atas keterlambatan ketibaan di Surabaya "karena alasan operasional.?

Saya terus terang hanya dengar dua kali. Mungkin waktu di udara ada pengumuman serupa, tapi saya tidak dengar karena ketiduran.

Mendekati pukul 18.30 (saya lupa pastinya), pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Juanda Surabaya. Mulus sekali. Bapak-bapak yang duduk di sebelah saya pun mengomentari:

"Mungkin pilotnya sekarang sudah tenang ya. Mendaratnya enak sekali"

***

Mengapa saya begitu berupaya memilih pesawat yang paling dulu sampai Surabaya" Karena sore itu ada acara yang "wajib" saya datangi. Anak saya yang masih berumur 3,5 tahun akan tampil di panggung, menari dalam acara graduation sekolahnya.

Secara resmi, acara anak saya itu dimulai pukul 17.00 di sebuah hotel di pusat kota. Jadi sambil menunggu pesawat boarding, berkali-kali saya dikontak keluarga menanyakan kapan tiba.

Mendarat sekitar pukul 18.30, saya secepatnya menuju pusat kota. Mobil saya setir di atas 170 km/jam di tol, lalu di jalan "biasa" agak ngawur menyalip kanan-kiri.

Pukul 19.00 lebih sedikit, saya tiba di situ. Sayang, pas saya tiba, pas anak saya baru saja turun dari panggung. Andai lima menit lebih cepat, saya pasti bisa melihatnya pas sedang beraksi lucu di atas panggung.

Saya nanti-nantinya pasti masih akan naik Garuda lagi. Mungkin masih akan naik ratusan "atau ribuan-- kali lagi. Tapi, melihat penampilan anak saya itu tidak akan bisa diulang lagi.

Seandainya pilot tadi ngambeknya lima menit lebih pendek"

 

Opini by Azrul Ananda (JPNN.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar